Thursday, January 15, 2009

FLG PROUDLY PRESENTS: DISKUSI DAN BEDAH BUKU KARYA PAN MOHAMAD FAIZ., S.H., M.C.L.


Salam Lintas Generasi,

Dalam mengisi partisipasi untuk mencerdaskan dan membangun kepribadian bangsa yang berlandaskan roh moral dan budaya di bidang kajian dan edukasi publik, Forum Lintas Generasi (FLG) terus berupaya melahirkan ide-ide kreatif yang ditujukan bagi bangsa.

Salah satu pendiri kami, Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., baru saja menyelesaikan tulisannya dalam bentuk buku yang berjudul “BANGKIT INDONESIA: Menaklukkan Tantangan, Meraih Harapan.” Buku tersebut berisi gagasan kreatif yang solutif untuk melakukan sesuatu yang dapat menegakkan kembali mental bangsa yang runtuh akibat deraan berbagai kesulitan.


Dengan dasar pemikiran yang demikian, maka Forum Lintas Generasi (FLG) mengadakan kegiatan DISKUSI DAN BEDAH BUKU, dengan tema:

“Menuang Ide Solutif Bagi Bangsa dalam Sebuah Tulisan”

Diskusi dan bedah buku tersebut akan diselenggarakan pada:

Hari / Tanggal : Senin, 19 Januari 2009

Waktu : 13.00 - selesai

Tempat : Ruang Soemadipradja & Taher (S&T), Kampus FHUI, Depok

Pembicara : - Prof. Hikmahanto Juwana, S.H., LL.M., Ph.D

(Guru Besar Hukum Internasional FHUI)

- Riza Fadhli Buditomo, AMd.Ak., S.H.

(Praktisi Hukum)

- Manggala Putra Gonjeszhenn

(Ketua Kelompok Studi Mahasiswa (KSM) UI)


Dengan melakukan kajian dan diskusi mengenai permasalahan ini, diharapkan pemuda sebagai tulang punggung Negara dapat terus menjadi harapan masa depan Negara yang memiliki pemikiran dan produktifitas yang dapat dipersembahkan bagi penyelesaian permasalahan-permasalahan bangsa.

Demikian undangan ini kami sampaikan, dan kami tentunya menantikan partisipasi dengan kehadiran saudara

FREE & TERBUKA UNTUK UMUM

Tersedia Doorprize 3 buah buku karya Pan Mohamad Faiz!

Monday, May 7, 2007

Polemik Inkonstitusionalitas Anggaran Pendidikan


Oleh: Pan Mohamad Faiz * Sun May 6, 2007 2:55 am

Hitam-putih potret pendidikan Indonesia kembali mewarnai momentum peringatan Hari Pendidikan Nasional. Berbagai peristiwa nonpekerti seperti misalnya kecurangan UN oleh para tenaga pendidik bak awan pekat yang menyelimuti pendidikan bangsa ini.

Di lain pihak, berbagai prestasi gemilang mampu diukir putra-putri terbaik Indonesia di pentas internasional. Sebutlah, salah satunya aksi mahasiswi Indonesia yang mampu merebut the best oralist peradilan semu internasional. Berangkat dari hal tersebut, maka dapat kita katakan bahwa kualitas SDM Indonesia tidaklah seburuk apa yang kita bayangkan. Lalu di manakah sesungguhnya letak kesalahan yang terjadi di dalam dunia pendidikan kita selama ini?

Diyakini oleh berbagai kalangan, salah satu akar permasalahan ini terjadi dikarenakan lemahnya kemauan politik (political will) pemerintah untuk memosisikan sektor pendidikan sebagai prioritas yang utama. Selain dalam hal lemahnya manajemen pengelolaan, rendahnya anggaran pendidikan seringkali menjadi batu ganjalan yang amat dirasakan banyak pihak. Kewajiban konstitusi (constitutional obligation) pemerintah untuk mengalokasikan anggaran pendidikan sebesar 20% dari APBN dan APBD belum dipenuhi hingga saat ini.

Oleh karena itu, putusan Mahkamah Konstitusi yang diucapkan tanggal 1 Mei lalu dengan menyatakan bahwa pengalokasian anggaran pendidikan oleh pemerintah sebesar 11,8% sebagai batas tertinggi bertentangan dengan UUD, merupakan ”kado istimewa” di suasana hari pendidikan nasional. Namun, hal tersebut akanlah menjadi sekadar ”kartu ucapan”kosong tatkala pemerintah mengulangi kembali pelanggaran konstitusional di masa yang akan datang.

Pasalnya, inilah putusan ketiga yang pernah dikeluarkan oleh Mahkamah Konstitusi terkait dengan tidak dipenuhinya 20% anggaran pendidikan. Dua buah ”kartu kuning” yang telah dikeluarkan sebelumnya rupanya tidak mampu juga menggetarkan kemauan politik para penentu kebijakan di negara ini. Pemerintah seakanakan selalu berlindung di balik kelemahan putusan yang tidak mempunyai sanksi hukum tegas bila tidak dilaksanakan (lex imperfecta).

Selain tidak dipatuhinya dua kali putusan Mahkamah Konstitusi, lemahnya komitmen ditunjukan pula dengan terjadinya perubahan skenario anggaran secara sepihak terhadap kesepakatan yang pernah dibuat antara Pemerintah dan komisi Komisi X DPR RI. Rekomendasi yang dikeluarkan oleh DPD RI berdasarkan Keputusan No. 26/DPD/ 2006 agar pemerintah berupaya menggunakan sisa anggaran tahun lalu sebesar Rp57 triliun untuk anggaran pendidikan tidak juga direspons dengan cukup baik.

Begitu pula dengan surat khusus yang disampaikan oleh Sekjen Education International (EI) Fred van Leuwen, kepada Presiden yang sengaja ”menyentil” kebijakan pemerintah dengan membandingkan anggaran pendidikan negara tetangga yaitu Malaysia (20%) dan Thailand (27%), belum juga berbuah hasil.Indikasi lemahnya komitmen ini juga dirasakan oleh Mahkamah Konstitusi dalam pertimbangannya yang menyatakan bahwa Pemerintah dan DPR belum melakukan upaya yang optimal. Bahkan,putusan ini disambut dingin oleh pemerintah dengan mengatakan tidak akan merevisi anggaran pendidikan pada APBN 2007.

Aktivisme Konstitusional

Daya upaya segenap pihak yang peduli akan nasib pendidikan bangsa ini telah dilakukan lewat berbagai cara.Tetapi lemahnya kesadaran hukum (lawlessness) para pejabat negara untuk mematuhi ketentuan konstitusi menyebabkan upaya tersebut menjadi tidak maksimal. Perlu usaha ekstrakeras untuk mewujudkan cita-cita para founding fathers dalam hal pemenuhan anggaran pendidikan ini.
Agar hal tersebut bukan sekadar menjadi impian semu para generasi mendatang, cara-cara konvensional harus pula ditunjang dengan aktivisme konstitusional (constitutional activism) lainnya.

Pertama, dalam hal memperjuangkan hak pendidikan melalui ranah yudisial–– khususnya dalam bidang anggaran–– hingga saat ini masyarakat masih terpaku pada pergulatan di arena Mahkamah Konstitusi.

Padahal, sebenarnya upaya yang sama dapat pula dilakukan oleh segenap lapisan masyarakat untuk melakukan pengujian terhadap peraturan daerah di wilayahnya masing-masing yang dianggap bertentangan dengan UU Sisdiknas ke hadapan Mahkamah Agung. Peluang ini sangat terbuka lebar melalui pintu Pasal I Angka 20 UU No. 5/ 2004 tentang Mahkamah Agung, mengingat di dalam UU Sisdiknas telah termaktub juga berbagai hak warga negara guna memperoleh pembebasan biaya pada jenjang pendidikan dasar (Pasal 34), kewajiban dan jaminan dari Pemerintah Daerah atas tersedianya dana pendidikan untuk warga negara berusia 7 s.d.15 tahun (Pasal 6), Pengalokasian dana pendidikan minimal 20% dari APBD (Pasal 49), serta berbagai jaminan pendidikan lainnya.

Praktik yudisial seperti ini sudah sangat lazim dilakukan di pengadilan India. Sehingga kunci pemerataan kesempatan dan pesatnya pendidikan India juga dimotori oleh dukungan putusan pengadilannya. Bahkan, dalam putusan terakhirnya (29/03), Mahkamah Agung India mampu memutuskan untuk menyediakan reservasi bangku perguruan tinggi ternama sebesar 27% khusus kepada kelas masyarakat terbelakang (other backward classes).

Kedua,alasan yang dikemukakan oleh Komisi X DPR bahwa RUU APBN yang datang dari pemerintah sejak semula tidak mempunyai goodwill tidak dapat diterima. Melepaskan tanggung jawab bukanlah solusi yang dinanti rakyat banyak. Sebab, bagaimanapun juga, anggaran adalah hasil bersama antara Pemerintah dan DPR secara institusional.

Kewenangan legislative review yang dimilik oleh mereka seharusnya dapat difungsikan secara maksimal. Jikapun mereka benar-benar mau memperjuangkan aspirasi rakyatnya, terhadap kondisi yang sangat memperhatinkan ini, maka patutlah sesegera mungkin untuk membentuk Pansus Anggaran Pendidikan guna mengatasi berlarut-larutnya pelanggaran konstitusi secara berjamaah ini.

Ketiga, Mahkamah Konstitusi sebagai ”pengawal konstitusi” harus pula ditafsirkan sebagai lembaga yang berfungsi mencegah kemungkinan terjadinya pelanggaran konstitusi. Terhadap adanya kemungkinan berulangnya pelanggaran konstitusi yang sama,kiranya Mahkamah Konstitusi harus pula menempuh langkah untuk mengontrol efektivitas putusannya agar dijalankan oleh pemerintah.

Berbeda dengan praktik ketatanegaraan Jerman, efektifitas putusan Mahkamah Konstitusi Jerman (Bundesverfassungsgericht) biasanya ditopang dengan adanya kekuataan oposisi yang mendorong Pemerintah berkuasa untuk melaksanakan putusan Mahkamah. Sayangnya alam demokrasi dan praktik ketatenegaraan seperti ini belum terbangun dengan baik di negara kita. Oleh karenanya, salah satu cara yang dapat ditempuh Mahkamah untuk saat ini yaitu dengan mengingatkan Presiden dan/atau DPR dengan mengirimkan surat resmi sebagaimana pernah dilakukannya dalam kasus BBM beberapa waktu yang lalu.

Ketiga cara tersebut kiranya dapat dipertimbangkan oleh berbagai elemen masyarakat dan lembaga negara terkait. Jika kesadaran akan hak dan kewajiban konstitusional ini telah terbangun dalam sistem kehidupan berdemokrasi kita, niscaya seluruh jajaran pemerintah pusat dan daerah beserta masyarakat akan bersatu-padu guna mewujudkan pendidikan yang bermutu tinggi. Karena hanya dengan hal tersebutlah bangsa ini akan bangkit dan keluar dari krisis multidimensi yang tengah mendera selama satu dasawarsa terakhir.

Akankah perkataan manis dari pemimpin kita yang mengatakan ”Saya takut jika melanggar Konstitusi” dan bahkan di dalam kesempatan sidang Inter-Parliamentary Union (IPO) juga berani mengimbau seluruh negara di dunia supaya memberikan keseriusan untuk menaikkan anggaran pendidikannya, diikuti pula dengan tindakan dan langkah yang lebih nyata di tahun-tahun mendatang? Kiranya suara hati dari negeri Gandhi ini dapat terdengung di telinga para pemangku kepentingan di tanah air. Semoga. (*)

Penulis adalah Wakil Ketua Perhimpunan Pelajar Indonesia se-India (PPI India), dapat dihubungi melalui http://groups.yahoo.com/group/FLG_Indonesia/post?postID=cUpf9tUuVd-owbk7qi1BVxDT5r-m0BdVN4a6UrD4TagNCuVZfZ8YuWyJfUDXlC8LzMirk_3rnHYKlff8eA

---------------------------------------------------------
PPI India: http://ppiindia.wordpress.com/

Sunday, April 1, 2007

SENATOR (SenayanTemplokKoruptor)


*Paku Utama

Coba bayangkan. Kalau anggota DPR kita yang korup, kemudian dihukum mati. Apalagi kalau dia bukan hanya anggota biasa, tetapi salah satu dari pemimpinnya! Apakah berakibat lembaga perwakilan itu akan lebih bersih KKN dan mampu menjalankan fungsi utamanya? No! Big No!.
Ilustrasi di atas cuma igauan di negeri ini. Sebab untuk memeriksa, mengadili, apalagi menjatuhkan hukuman mati bagi anggota DPR tidak semudah itu. Sebab, ada sejumlah payung hukum dan politik yang bakal menyelamatkan.



Berapa banyak sudah anggota DPR yang diusut, diselidiki dan disidik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya: Nol. Kalau ditanya, dari mana memulainya, bukanlah soal sulit. Ambil saja contoh yang sangat hangat, kasus percaloan Panitia Anggaran DPR, hingga kini nyaris tak terdengar lagi suaranya. Kini, sedang heboh disorot tentang suap dari Mendagri untuk Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, nasibnya juga akan sama dengan kasus Panitia Anggaran.



Siapa yang berani yang masuk ke ”kerajaan legislatif” itu? Polisi, jaksa, atau KPK yang dikatakan jagoan mengusut kasus korupsi pun tidak memiliki nyali mengusutnya. Padahal dengan bukti-bukti yang ada sudah cukup alasan untuk meneliti, dan menyidik dugaan kasus korupsi di lembaga perwakilan rakyat itu.



Masih sulit mencari bukti tentang korupsi di DPR? Ada cari lain yang lebih mudah. Coba telusuri, siapa-siapa saja dan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka sebelum menjadi anggota parlemen. Untuk pengusaha besar seperti Aburizal Bakri, Baramuli, atau Arifin Panigoro, kita tidak usah heran kalau mereka memang selama ini sudah tinggal di daerah elit Menteng, Kebayoran Baru atau Pondok Indah.



Bagaimana halnya dengan, maaf, para anggota yang tadinya, untuk mengontrak rumah di daerah saja, masih minjam dan handai tolan ke sana kemari. Bagi yang datang dari daerah, ketika datang ke Jakarta pertama kali masih ngontrak atau ikut saudara. Tetapi, setelah dalam kurun sekejap, asset dan gaya hidup mereka sudah berubah bagai hidup di dunia mimpi. Coba tengok di kartu nama yang mereka bagi-bagikan, alamat rumahnya tak sedikit yang kini sudah jadi orang Kebayoran Baru, Kemang, Pondok Indah, atau penghuni apartemen yang mahal.
Begitu pula halnya dengan kendaraan yang dipakainya. Memakai istilah pengusaha Keturuan Tionghoa di daerah Pecinan Kota, Jakarta, mobil yang dipakainya kebanyakan ”mobil orang selatan,” sekadar menggambarkan pejabat, pegawai negeri yang tinggal di daerah Jakarta Selatan. Ciri-ciri kendaraan yang dipakainya, asal mewah, tetapi tidak memikirkan aspek efisiensi, dan resale value. Pokoknya gaya, biar boros, tidak ada jaminan purna jual, atau nilai jualnya rendah tidak peduli.



Mengapa perilaku orang "selatan" (yang) itu tidak ekonomis? Jawabnya sederhana, mereka mendapatkan uang sudah pasti tidak perlu dengan kerja keras, akan tetapi cukup dengan mengandalkan kekuasan atau wewenang yang dimilikinya. Tak heran, jika mobil mereka berderet-berderet dan gonta-ganti. Sebab, cara mendapatkan uangnya tak sesulit pedagang, atau petani yang mesti kerja keras dan memeras otak. Nah, sejak sewindu reformasi di negeri ini, deretan mobil mobil-mobil selatan itulah yang memadati lahan perparkiran di gedung DPR.
Dari mana mobil-mobil orang selatan dan rumah-rumah mewah para anggota yang terhormat itu didapat? Silahkan, kalau masih punya nyali, para auditor independen, penyidik polisi, jaksa dan KPK menyidik dan mengaudit. Yang pasti, hasilnya sangat patut dapat dicurigai dan diduga dari aneka macam suap berkenaan dengan tugas mereka melakukan kontrol, dan pembuat undang-undang. Posisi ini memang basah, terutama di negeri ini yang tingkat korupsinya subur.
***
Selain kendala yuridis tadi, ada lagi alasan politis. Dalam prosesnya, seorang anggota DPR harus memenuhi beberapa sarat[1]. Pertama, untuk memajukan diri, seorang calon harus penuh dengan sarat untuk menumpuk kekayaan. Kedua, seorang calon untuk maju harus memerlukan dukungan dari partai politiknya. Dengan kata lain, untuk maju ia sudah sarat dibebani kepentingan politik. Dan ketiga, sesuai dengan pengalaman pemilihan kita yang terdahulu, banyak calon yang dipenuhi dengan sarat kecurangan.



Dari ketiga hal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertama seseorang itu untuk menjadi calon, ia sudah sepatutnya mempunyai landasan moral dan ideologi yang bersih. Seorang calon, harus melihat bahwa ia maju bukan untuk mengejar segala fasilitas yang ada di Senayan tersebut, tetapi harus berlandaskan bahwa ia sebagai pengemban amanah dalam rangka pembangunan bangsanya. Kedua, bagaimana bila seorang calon tersebut luput dari kepentingan politik jikalau ia maju itupun karena partainya. Dan apabila terpilih pun, ia pasti harus tidak melupakan jasa-jasa partainya kan? Nah bagaimana dia dapat mengedepankan idealismenya apabila terdapat suatu hal bertentangan dengan kepentingan partainya. Yang terkhir, dapat kita ketahui dari media bahwa pada saat pemilihan calon legislatif 2004 kemarin, ternyata diketahui banyak sekali yang memalsukan ijasahnya. Adalah Panwaslu yang mengungkapkan perihal para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bermasalah itu. Menurut Panwaslu, jumlah mereka mencapai 257 orang. Dari jumlah itu 83% terindikasi memanipulasi ijazah pendidikan. Yang lain masih berstatus pegawai negeri, yang lain lagi berstatus tersangka tindak pidana dan money politics, dan yang sisanya adalah mereka yang telah dipecat dari partai.[2]



Lalu dari para perwakilan yang terhormat ini, apa yang dapat kita harapkan? Membuat undang-undang? Bagaimana mereka dapat membuatnya, jika yang menjadi anggota itu hanyalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum, dan bahkan orang-orang yang mugkin hanyalah tamatan SMA atau mungkin SD. Dari hal itupun, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk memberantas korupsi, kalau mereka sendiri pun tidak mengerti tentang korupsi atau mungkin menghalangi pemberantasan korupsi. Ironis. Lantas apabila dari mereka ada yang korup, mungkinkah kita mematikannya? Wah, kalau dimatikan bisa-bisa satu senayan mati semua.



Paku Utama
21 Januari 2006


[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sarat ialah sesuatu yang dipenuhi atau diberati dan dapat juga berarti syarat.
[2] Media Indonesia, 12 Agustus 2004

Saturday, March 31, 2007

Saat Sebagai Mahasiswa Kita (sepenuhnya) Menjadi Orang Indonesia


Saat Sebagai Mahasiswa Kita (sepenuhnya) Menjadi Orang Indonesia


Negara Indonesia itu belum ada. Begitulah Bapak H.S. Dillon (selanjutnya disebut dengan HSD) memulai pembicaraannya bersama FLG, di kediamannya pada tanggal 25 Maret 2006. menurut beliau, kita belum menjadi orang Indonesia seutuhnya, karena kita belum bisa keluar dari kungkungan kepentingan pribadi, golongan dan keluarga dalam mengutamakan kepentingan Negara dan bangsa sebagai prioritas utama. Berdasarkan sejarah, nama Indonesia pun merupakan pemberian dari seorang ahli dari Belanda. Kemerdekaan Indonesia juga tidak lepas dari campur tangan bangsa asing, dalam hal ini Jepang. Masih menurut HSD, dengan bagitu bukan berarti penduduk Indonesia yang benar – benar konsern terhadap kepentingan negaranya itu tidak ada. Mahasiswa merupakan bagian masyarakat yang mampu menjadi orang Indonesia seutuhnya. Sebab di saat menjadi mahasiswa, seseorang mampu melepaskan dirinya dari belenggu kepentingan pribadi, golongan dan memfokuskan diri pada kepentingan bersama dan umum. Di masa – masa menjadi mahasiswalah—dan hal ini sudah dibuktikan oleh banyak tokoh dunia dan nasional—muncul idealisme dan kreatifitas – kreatifitas brilliant seseorang
Sebelumnya, FLG yang konsern terhadap keadaan Negara yang amburadul ini telah menyampaikan hasil penelitian kecil – kecilan mereka. Dalam penelitian itu, FLG menemukan bahwa mahasiswa menganggap semua periode yang pernah dilalui bangsa ini sama saja keadaannya. Tak ada satu periode yang menjadi favorit mahasiswa.
Menanggapi pandangan FLG yang mengatakan bahwa Negara dalam keadaan amburadul itu, HSD mengiakan. Menurutnya, keamburadulan Negara yang terjadi sekarang adalah sebuah warisan masa lampau yang terus beranak pinak. VOC, Belanda, Jepang, para penjajah yang bercokol lama di Indonesia ini mewarisi banyak sekali kesaliman. Dan setelah kemerdekaan sampai sekaran, kesaliman itu bukannya dihilangkan malah sebaliknya bertambah parah. Memang ada upaya menghilangkan itu. Soekarno misalnya, berusaha untuk menghancurkan “tembok – tembok tua” kesaliman sore itu dengan menggambarkan keadaan Indonesia kontemporer. Masalah Cepu, Freeport, dan para pencari suaka di Australia yang berasal dari Irian Jaya, diangkatnya. “Nasionalisme kita tengah diuji dan digoyang”, ujarnya. Pertanyaan mendasara dari bung Idam adalah apakah itu nasionalisme? Bung Karno pada umur 26 tahun pernah mengatakan bahwa, nasionalisme sejati harus bersendikan pada pengetahuan akan tatanan ekonomi dunia dan sejarah bangsa serta dunia. Maka, inilah tugas mahasiswa sekarang. Ia harus mengetahui tatanan ekonomi dunia, untuk menjaga dan mengamankan tatanan ekonomi serta kehidupan ekonomi di negaranya. Disamping itu, penting juga untuk menggali pemikiran dan pemahaman para founding fathers Negara ini, untuk memperkaya dan memperkuat nasionalisme generasi muda.
Mahasiswa harus mengubah dirinya sendiri. Sesuatu yang ingin diubah, harus dilakukan dalam diri sendiri. Selain itu, generasi muda harus paham bahwa, belajar dari pengalaman senior adalah hal yang biak. Maka dibutuhkanlah “penyaringan” dalam meliah – milah mana yang baik, mana yang buruk. Karena untuk mengubahsesuatu yang salah di negeri ini, perlu pemotongan satu generasi. Tapi itu tentu saja tidak mungkin dilakukan.
Menutup pertemuan sore itu, ketiga tokoh yang ditemui FLG, rupanya sepaham. Mereka memberikan closing statement yang pada intinya berharap agar semangat yang sudah ada pada FLG, harus tetap dipertahankan. Api Nasionalisme ini harus tetap menyala dan dipupuk selalu, sehingga generasi sekarang dapat menjadi lebih baik dari generasi – generasi sebelumnya.




Berto Iskra
30 Maret 2006