Sunday, April 1, 2007

SENATOR (SenayanTemplokKoruptor)


*Paku Utama

Coba bayangkan. Kalau anggota DPR kita yang korup, kemudian dihukum mati. Apalagi kalau dia bukan hanya anggota biasa, tetapi salah satu dari pemimpinnya! Apakah berakibat lembaga perwakilan itu akan lebih bersih KKN dan mampu menjalankan fungsi utamanya? No! Big No!.
Ilustrasi di atas cuma igauan di negeri ini. Sebab untuk memeriksa, mengadili, apalagi menjatuhkan hukuman mati bagi anggota DPR tidak semudah itu. Sebab, ada sejumlah payung hukum dan politik yang bakal menyelamatkan.



Berapa banyak sudah anggota DPR yang diusut, diselidiki dan disidik sebagai tersangka korupsi? Jawabnya: Nol. Kalau ditanya, dari mana memulainya, bukanlah soal sulit. Ambil saja contoh yang sangat hangat, kasus percaloan Panitia Anggaran DPR, hingga kini nyaris tak terdengar lagi suaranya. Kini, sedang heboh disorot tentang suap dari Mendagri untuk Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, nasibnya juga akan sama dengan kasus Panitia Anggaran.



Siapa yang berani yang masuk ke ”kerajaan legislatif” itu? Polisi, jaksa, atau KPK yang dikatakan jagoan mengusut kasus korupsi pun tidak memiliki nyali mengusutnya. Padahal dengan bukti-bukti yang ada sudah cukup alasan untuk meneliti, dan menyidik dugaan kasus korupsi di lembaga perwakilan rakyat itu.



Masih sulit mencari bukti tentang korupsi di DPR? Ada cari lain yang lebih mudah. Coba telusuri, siapa-siapa saja dan bagaimana kehidupan sehari-hari mereka sebelum menjadi anggota parlemen. Untuk pengusaha besar seperti Aburizal Bakri, Baramuli, atau Arifin Panigoro, kita tidak usah heran kalau mereka memang selama ini sudah tinggal di daerah elit Menteng, Kebayoran Baru atau Pondok Indah.



Bagaimana halnya dengan, maaf, para anggota yang tadinya, untuk mengontrak rumah di daerah saja, masih minjam dan handai tolan ke sana kemari. Bagi yang datang dari daerah, ketika datang ke Jakarta pertama kali masih ngontrak atau ikut saudara. Tetapi, setelah dalam kurun sekejap, asset dan gaya hidup mereka sudah berubah bagai hidup di dunia mimpi. Coba tengok di kartu nama yang mereka bagi-bagikan, alamat rumahnya tak sedikit yang kini sudah jadi orang Kebayoran Baru, Kemang, Pondok Indah, atau penghuni apartemen yang mahal.
Begitu pula halnya dengan kendaraan yang dipakainya. Memakai istilah pengusaha Keturuan Tionghoa di daerah Pecinan Kota, Jakarta, mobil yang dipakainya kebanyakan ”mobil orang selatan,” sekadar menggambarkan pejabat, pegawai negeri yang tinggal di daerah Jakarta Selatan. Ciri-ciri kendaraan yang dipakainya, asal mewah, tetapi tidak memikirkan aspek efisiensi, dan resale value. Pokoknya gaya, biar boros, tidak ada jaminan purna jual, atau nilai jualnya rendah tidak peduli.



Mengapa perilaku orang "selatan" (yang) itu tidak ekonomis? Jawabnya sederhana, mereka mendapatkan uang sudah pasti tidak perlu dengan kerja keras, akan tetapi cukup dengan mengandalkan kekuasan atau wewenang yang dimilikinya. Tak heran, jika mobil mereka berderet-berderet dan gonta-ganti. Sebab, cara mendapatkan uangnya tak sesulit pedagang, atau petani yang mesti kerja keras dan memeras otak. Nah, sejak sewindu reformasi di negeri ini, deretan mobil mobil-mobil selatan itulah yang memadati lahan perparkiran di gedung DPR.
Dari mana mobil-mobil orang selatan dan rumah-rumah mewah para anggota yang terhormat itu didapat? Silahkan, kalau masih punya nyali, para auditor independen, penyidik polisi, jaksa dan KPK menyidik dan mengaudit. Yang pasti, hasilnya sangat patut dapat dicurigai dan diduga dari aneka macam suap berkenaan dengan tugas mereka melakukan kontrol, dan pembuat undang-undang. Posisi ini memang basah, terutama di negeri ini yang tingkat korupsinya subur.
***
Selain kendala yuridis tadi, ada lagi alasan politis. Dalam prosesnya, seorang anggota DPR harus memenuhi beberapa sarat[1]. Pertama, untuk memajukan diri, seorang calon harus penuh dengan sarat untuk menumpuk kekayaan. Kedua, seorang calon untuk maju harus memerlukan dukungan dari partai politiknya. Dengan kata lain, untuk maju ia sudah sarat dibebani kepentingan politik. Dan ketiga, sesuai dengan pengalaman pemilihan kita yang terdahulu, banyak calon yang dipenuhi dengan sarat kecurangan.



Dari ketiga hal tersebut dapat kita tarik kesimpulan bahwa, pertama seseorang itu untuk menjadi calon, ia sudah sepatutnya mempunyai landasan moral dan ideologi yang bersih. Seorang calon, harus melihat bahwa ia maju bukan untuk mengejar segala fasilitas yang ada di Senayan tersebut, tetapi harus berlandaskan bahwa ia sebagai pengemban amanah dalam rangka pembangunan bangsanya. Kedua, bagaimana bila seorang calon tersebut luput dari kepentingan politik jikalau ia maju itupun karena partainya. Dan apabila terpilih pun, ia pasti harus tidak melupakan jasa-jasa partainya kan? Nah bagaimana dia dapat mengedepankan idealismenya apabila terdapat suatu hal bertentangan dengan kepentingan partainya. Yang terkhir, dapat kita ketahui dari media bahwa pada saat pemilihan calon legislatif 2004 kemarin, ternyata diketahui banyak sekali yang memalsukan ijasahnya. Adalah Panwaslu yang mengungkapkan perihal para anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang bermasalah itu. Menurut Panwaslu, jumlah mereka mencapai 257 orang. Dari jumlah itu 83% terindikasi memanipulasi ijazah pendidikan. Yang lain masih berstatus pegawai negeri, yang lain lagi berstatus tersangka tindak pidana dan money politics, dan yang sisanya adalah mereka yang telah dipecat dari partai.[2]



Lalu dari para perwakilan yang terhormat ini, apa yang dapat kita harapkan? Membuat undang-undang? Bagaimana mereka dapat membuatnya, jika yang menjadi anggota itu hanyalah orang-orang yang tidak mengerti tentang hukum, dan bahkan orang-orang yang mugkin hanyalah tamatan SMA atau mungkin SD. Dari hal itupun, bagaimana kita bisa mengharapkan mereka untuk memberantas korupsi, kalau mereka sendiri pun tidak mengerti tentang korupsi atau mungkin menghalangi pemberantasan korupsi. Ironis. Lantas apabila dari mereka ada yang korup, mungkinkah kita mematikannya? Wah, kalau dimatikan bisa-bisa satu senayan mati semua.



Paku Utama
21 Januari 2006


[1] Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sarat ialah sesuatu yang dipenuhi atau diberati dan dapat juga berarti syarat.
[2] Media Indonesia, 12 Agustus 2004